Kata temanku, ini adalah sebuah cerita sebagai bentuk permohonan maafku pada dia. Dia siapa? Nanti juga tahu.
#3 Ku di Negri Orang
Semarang, 09 September 2020, pukul 19.03 WIB.
Masih di kamar rumah kontrakanku tercinta, dan tentunya bersama Tiara.
Ternyata berjeda lima hari setelah aku menulis cerita ini untuk kali pertama. Memang benar konsisten itu berat. Kata dosen waliku, konsisten dalam belajar itu berat, karena hadiahnya cumlaude. Kalau dalam penulisan buku mungkin jadinya seperti ini, konsisten dalam menulis itu berat, karena hadiahnya best seller. Hahaha.
Cukup sudah basa-basinya. Sekarang aku benar-benar akan mulai bercerita. Ceritanya aku mulai dari kejadian sekitar tiga tahun lalu, pertengahan tahun 2017. Di rumah Adik Mamahku, Tante Tasya, di kota Cirebon. Saat itu aku hendak menuju terminal kota Cirebon, sebelum akhirnya pergi naik bus menuju kota Semarang.
Bagian ketiga sekaligus awal “pembahasan” dari ceritaku ini, aku beri judul “Ku di Negri Orang”.
***
“MAH...! PAH...! TEH NAY...! TEH AY...! AYO, DONG! NANTI KETINGGALAN BUSNYA!” aku yang sudah menunggu di teras depan ditemani Tante Tasya berteriak memanggil Mamah, Papah, Teh Nayla, dan Teh Ayla yang masih berada di dalam rumah.
Hari ini, 22 Juli 2017. Satu lagi kisah perjalanan hidupku dimulai. Aku akan pergi menuju kota Semarang untuk melanjutkan kuliah S1 Teknik Informatika di salah satu perguruan tinggi negeri di sana. Dua hari sebelumnya aku bersama keluargaku menyempatkan singgah di kota Cirebon.
Kenapa ke Cirebon? Ya, karena aku harus pamit dengan Tante Tasya dan suaminya, Om Hari. Mereka sudah kuanggap seperti Mamah dan Papahku juga. Lagi pula aku akan pergi menuju kota Semarang dengan menaiki bus umum. Jarak dari kota Cirebon ke kota Semarang jauh lebih dekat dibandingkan dari kota Bandung ke kota Semarang. Tentu bagi aku yang akan naik bus umum untuk kali pertama, pilihan inilah yang paling tepat. Karena duduk di bus berjam-jam mungkin terasa sangat melelahkan dan membosankan kalau belum menjadi kebiasaan.
Di sisi lain, di lubuk hatiku yang paling dalam, masih ada keinginan dan harapan untuk bertemu dengan dia. Iya, dia, laki-laki yang akan menjadi tokoh utama dalam ceritaku ini. Tokoh utama macam apa yang namanya saja belum kusebut sampai sekarang. Hahaha... karena ini ceritaku, ya, terserah aku, dong! Hehehe.
Dia, laki-laki yang pernah singgah, laki-laki yang pernah menetap, laki-laki yang kini sudah pergi, laki-laki yang kini kurindukan. Meskipun kalau dipikir-pikir aneh, sih. Karena dulu aku yang memintanya pergi dan menghilang dari kehidupanku. Dulu aku yang tidak mensyukuri keberadaannya di sisiku. Tapi sekarang, aku yang meminta semesta agar garis waktu bisa menuntun kita pada titik temu untuk kesekian kalinya.
Bagaimana pun, rasa bersalah karena sudah berbohong kepada dia selalu mengganggu pikiranku. Sebelumnya sudah sedikit menghilang. Entah mengapa saat aku hendak pergi menuju kota Semarang rasa bersalah itu semakin menjadi beban di dalam pikiran. Mau bagaimana lagi, namanya juga “bohong”, hanya menawarkan ketenangan sesaat. Seterusnya ia akan menjerat... menjerat dengan rasa bersalah dan penyesalan. Maka dari itu, aku ingin bertemu dengannya lagi, hanya untuk mengatakan yang sejujurnya. Menjelaskan “kenapa yang keempat” yang belum kukatakan padanya saat dulu berpisah.
Selain itu, tentu saja aku ingin meminta maaf, terserah dia akan memaafkanku atau tidak. Dan satu lagi, kalau memungkinkan, aku ingin memintanya kembali padaku. Tapi, mungkin dia sudah mempunyai seseorang yang baru. Seseorang yang menggantikan posisiku.
“Tikung dong!” sela Tiara.
“Nggak, nggak... bercanda, Kay. Bahagia nggak melulu harus berakhir dengan bersama. Karena ‘happy ending’ dalam sebuah cerita, nggak selalu tercipta bagi sepasang tokoh utama yang sudah ada dari awal cerita. Bisa jadi di tengah cerita salah satu tokoh bertemu dengan yang lain, yang ternyata ‘happy ending’ baginya. Itulah mengapa aku pernah bilang agar kamu siap dengan hal terburuk sekalipun. Kalau dia ‘pasangan tokoh utama kamu di awal cerita’ sudah ada yang punya, ya sudah. Ikhlaskan saja. Dan artinya kamu harus mencari yang lain, yang akan menjadi ‘happy ending-mu’ juga, Kay.”
“Ra... ceritanya sudah dimulai. Dan saat ini aku sedang memposisikan diri aku berada di tahun 2017. Saat pertama kali aku pergi ke kota Semarang untuk kuliah. Jadi jangan menyela di tengah cerita. Nanti yang baca bisa kebingungan.”
“Bukannya pembaca tulisan kamu itu aku?! Tenang, Kay. Segimana membingungkannya hasil karyamu ini, pasti aku baca,” Tiara tertawa kecil. “Iya deh, iya. Aku nggak bakal menyela lagi, karena pendapatku nggak penting juga, kan!”
“Bukan begitu, Ra... menurutku pendapat orang lain itu cukup penting. Kalaupun aku tetap dengan pendirian untuk memilih pendapatku sendiri, setidaknya aku sudah mengambil pelajaran bahwa dalam membuat sebuah keputusan perlu dipikirkan matang-matang. Salah satunya dengan mempertimbangkan pendapat orang lain.”
“Intinya sudahlah. Kamu juga sudah terlanjur berbicara, Ra. Mau bagaimana pun, artinya ucapan kamu sudah menjadi bagian dari cerita.”
***
Maaf, ada iklan sebentar. Oke, mari kembali ke tahun 2017.
Selama aku singgah dua hari di kota Cirebon, aku mencoba segala cara untuk bisa bertemu dengan dia. Karena salah satu tujuanku ke Cirebon memang untuk bertemu dengannya. Tapi hasil yang kudapatkan tidak seperti yang kuharapkan. Aku tidak bertemu dengannya.
Aku sempat mendatangi rumah kontrakan tempat dia tinggal bersama keluarganya. Ternyata rumah kontrakan tersebut sudah dihuni oleh keluarga lain. Menurut keterangan seorang Ibu yang tinggal di sebelah rumah kontarakan. Katanya, orang yang kucari dan keluarganya memang sudah pindah sekitar satu bulan yang lalu. Sayangnya si Ibu tidak mengetahui mereka pindahnya ke mana.
Sempat pula kudatangi bengkel Vespa milik teman dia yang dulu pernah kukunjungi bersamanya. Tapi selama dua hari aku di Cirebon, bengkel selalu tutup. Aku pun sering menghubungi teman-temannya yang kukenal, melalui media sosial mereka. Tapi tidak pernah ada tanggapan. Entah pesanku belum dibaca atau sudah dibaca tapi enggan saja untuk memberikan balasan.
Karena hal-hal tersebut, mulai terlintas di pikiranku bahwa semesta benar-benar sudah tidak mengaminkan pertemuanku dengannya. Tapi kita saja baru berpisah sekitar tiga bulan, jadi belum ada alasan yang kuat kalau aku menyerah sekarang.
Mungkin kalian sedikit bertanya-tanya, kenapa aku tidak mencoba untuk menghubunginya langsung? Alasanku sederhana, karena aku tidak tahu harus menghubungi dengan cara apa. Yang kutahu, dulu dia hanya bisa dihubungi melalui BBM (Blackberry Message), telepon, atau SMS (Short Message Service). Sekarang BBM-nya sudah tidak bisa dihubungi lagi, mungkin ia sudah berpindah menggunakan aplikasi lain seperti yang aku dan kebanyakan orang lakukan. Sementara nomor handphone-nya sudah tidak aktif lagi, mungkin sudah lama ganti.
Sebenarnya aku belum benar-benar putus harapan. Aku sempat mencoba peruntungan dengan mencari akun media sosial dia. Siapa tahu ia sudah menjadi “orang kekinian” dan sudah mempunyai akun media sosial. Aku cari-cari, ternyata namanya masih belum ada juga. Atau mungkin ia memakai nama anonim untuk akunnya? Entahlah.
“Kay...? Kayla...? Ayo! Tadi kamu yang minta cepat-cepat. Kok, malah melamun. Lagi mikirin apa, sih?” seruan Mamahku menyadarkanku dari lamunan.
“Eh, iya, Mah. Nggak mikirin apa-apa, kok!”
Tak berselang lama, Teh Ayla keluar dari rumah Tante Tasya dan berdiri tepat di sebelah kananku. Lalu dengan santainya ia mulai berbicara. “Ah, Mamah. Kayak nggak tahu aja.”
Aku yang curiga dengan ucapan Teh Ayla langsung bersiap-siap. Bersiap-siap untuk apa?
“Si Kayla mikirin apalagi kalo bukan mikirin si Bi...” bersiap-siap untuk melakukan ini. Iya, sebelum Teh Ayla menyelesaikan ucapannya, aku yang masih duduk di kursi lekas berdiri dan dengan sigap menutup mulut Teh Ayla. “Bis... iya, aku mikirin bakal ketinggalan bis apa nggak, ya?” tegasku melanjutkan ucapan Teh Ayla.
Teh Ayla langsung menepis tanganku dari mulutnya. “Lepasin! Apaan, sih? Tangan elu, baunya nggak enak, tahu!”
“Enak aja! Makanya, jadi orang nggak usah sok tahu dan nggak usah banyak omong, ya!”
“Banyak omong apaan?! Orang gue nggak ngomong apa-apa.”
“Karena aku tahan. Kalau nggak ditahan, mulut Teteh pasti sudah kemana-mana.”
“Sudah! Sudah!... kok, malah ribut. Ayo, Kayla... nanti benar-benar ketinggalan bus, lho.”
“Iya, Mah,” jawabku.
“Lagian, aku bilang juga apa. Teh Ay jangan diajak. Orangnya sering bikin ribet.”
“Eh... gue juga ogah kalo nggak kepaksa. Ini, formalitas sebagai Kakak elu aja gue ada di sini.”
“YA AMPUN...! Masih dilanjut?! Mamah bilang, sudah! Ayo Ayla, Kayla. Masuk ke mobil!”
“Iya, Mah,” jawabku bersamaan dengan Teh Ayla.
Teh Ayla menghampiri Tante Tasya untuk berpamitan, dan aku mengikuti di belakang. Tampak Tante Tasya masih sedikit tertawa setelah melihat keributan kecil antara aku dengan Teh Ayla barusan. Pastinya ia akan merindukan suasana rumah yang berisi pertengkaran khas antara kakak dan adik seperti tadi.
Iya, karena di usia pernikahan yang sudah sekitar 15 tahun, Tante Tasya (Aunty bag yes) dan Om Hari (Uncle day), masih belum dikaruniai keturunan. Itulah alasan mengapa aku sedari dulu selalu menaruh, “kunjungan ke rumah Aunty bag yes dan Uncle day!” di urutan nomor satu saat liburan.
“Aunty, makasih ya, sudah dibolehin menginap. Titip salam buat Uncle day.”
Sejak aku dan keluargaku datang, Om Hari sedang tidak berada di rumah karena ada pekerjaan di luar kota. Jadi, aku belum sempat bertemu dan tentunya tidak bisa berpamitan secara langsung dengannya.
“Maaf ya, Aunty, sudah banyak ngerepotin,” tutupku dengan sedikit tertawa.
“Iya, memang... dia ngerepotin banget anaknya!” giliran Teh Nayla yang keluar dari rumah dan menyela obrolan sembari menghampiri Tante Tasya untuk berpamitan.
“Teh Nay, apaan, sih?! Nyamber aja.”
“Ah... tidak ada yang direpotkan, kok. Tante malah senang karena sudah main ke rumah Tante lagi. Soalnya, terakhir ke sini ramai-ramai, kan, sekitar dua tahun yang lalu. Yang Kayla ditinggal pas pulang ke Bandungnya.”
Ucapan Tante Tasya membuatku sedikit melamun mengingat kenangan dua tahun yang lalu itu, tahun 2015.
Saat itu seperti biasanya, aku mengisi liburan sekolah dengan berkunjung ke rumah Tante Tasya. Bedanya dengan sekarang, waktu itu aku pergi ke sininya sendirian. Mamah, Papah, Teh Nayla dan Teh Ayla baru datang menyusul dua hari sebelum liburan sekolahku usai. Sudah begitu pas pulangnya aku malah ditinggal.
Tak terasa lamunanku menyelam semakin dalam, tetapi aku segera membuyarkannya begitu sampai di kenangan itu. Kenangan saat pertama kali aku bertemu dengan dia, tokoh utama dalam ceritaku ini.
“Iya juga, ya. Sudah lama banget nggak main ke Cirebon ramai-ramai. Tapi... nanti kalau aku pulang dari Semarang, sebelum ke Bandung pasti mampir ke sini dulu, Aunt. ”
“Siap, Tuan Putri... pintu rumah yang sederhana ini akan selalu terbuka untuk Tuan Putri. Betah-betah ya, di Semarang sana. Kan, baru pertama kali, nih, hidup jauh dari Mamah, Papah, Teh Nayla, Teh Ayla. Awal-awal pasti merasa kangen banget. Apalagi sama Teteh kamu.”
“Iya, Aunty,” jawabku singkat dengan tatapan mata yang tidak mengarah ke Tante Tasya. Seperti tatapan orang yang sedang banyak pikiran. Dan memang aku sedang banyak pikiran. Tidak banyak juga, sih. Hanya satu, memikirkan dia.
Tante Tasya yang kenal betul dengan diriku mungkin paham kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Ia pun langsung melanjutkan ucapannya. Dengan harapan aku bisa melupakan sejenak pikiran-pikiran liarku. “Tante pun dulu pas awal merantau ke Cirebon, merasakan kangennn... banget berantem sama Mamah kamu,” Tante Tasya sedikit tertawa. Mungkin ia sambil mengingat kenangan saat berantem dengan Mamahku yang pastinya tak jauh beda seperti pertengkaranku dengan Teh Ayla.
“Tapi, lama-lama pasti betah. Buktinya, Tante sampai dapat orang Cirebon, Om Hari.”
Kini tanggapanku berbeda dari sebelumnya. Aku mencoba antusias meski sebenarnya ingatan tentang dia masih terus mengganggu pikiranku. “Iya, Aunty. Aku juga maunya dapat orang Cirebon,” aku tertawa kecil yang kemudian berganti menjadi senyuman. Senyuman penuh makna, senyuman yang mengaminkan kata-kataku barusan.
Tante Tasya ikut tersenyum, mungkin karena ia tahu siapa “orang Cirebon” yang aku maksudkan. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, lalu lekas memelukku, “Sini, Tante kasih pelukan untuk Tuan Putri, biar cepat move on. Memangnya masih belum ada Pangeran lain yang bisa menggantikan posisi dia?”
Aku tidak menjawab pertanyaan Tanteku. Yang jelas tidak akan pernah ada yang bisa menggantikannya, karena setiap orang pasti berbeda. Jadi, kalau ada laki-laki lain yang ingin membuatku jatuh cinta lagi, buatlah aku jatuh cinta pada dirinya sendiri, bukan pada dirinya yang mencoba menjadi orang lain.
***
Posting Komentar
Posting Komentar