Kata temanku, ini adalah sebuah cerita sebagai bentuk permohonan maafku pada dia. Dia siapa? Nanti juga tahu.
#4 D.O.A
Aku melepas pelukku dari Tante Tasya. Ia hanya memberi tanggapan dengan senyuman. Mungkin senyuman tanda paham kalau aku sedang tidak ingin membahas seseorang di masa laluku.
Lalu aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “By the way! Ini bukan pertama kalinya aku jauh dari Mamah, Papah, sama Teteh, kok, Aunt. Ya, kurang lebih sudah ketiga kalinyalah.”
Misi pengalihan berhasil, karena apa yang kuucapkan tampak membuat Tante Tasya keheranan. “Masa, sih? Kok, Tante tahunya kamu di Bandung terus dari kecil.”
Aku melihat Tanteku sedikit melamun. Daripada ia melamun terus-terusan, aku pun segera memberi jawaban. “Nih, ya, Aunty. Pertama, pas aku kelas enam SD. Kan, ada study tour selama tiga hari ke Yogyakarta. Aku jauh dari Mamah, Papah, dan Teteh. Terus yang kedua...”
Tante Tasya segera memotong candaanku, “Sudah, ah. Kamu mah bercanda terus. Sana. Nanti ketinggalan bus. Jam segini, Cirebon sering macet, lho.”
Iya, aku hanya bercanda saja. Aku tidak pernah “benar-benar” jauh dari orang-orang yang kucintai. Bahkan mungkin dengan dia, laki-laki yang menjadi tokoh utama dalam ceritaku ini sekalipun. Boleh jadi kita masih dekat, sangat dekat, dan selalu dekat. Mungkin kitanya saja yang tidak tahu dengan hal itu, atau lebih tepatnya belum tahu.
Karena boleh jadi kita akan tinggal di kota yang sama, kota Semarang. Boleh jadi kita akan berada di bus yang sama saat menuju kota Semarang. Ya kali, kehidupanku bisa se-plot twist itu?! Hehehe. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bukan!
Tawa lepas aku berikan sebagai salam perpisahan dengan Tante kesayanganku. “Iya, Aunty... maaf, aku bercanda mulu.”
“Semoga yang kamu harapkan bisa terwujud semuanya, ya, Tuan Putri. Berat, sih, jika hanya mengandalkan harapan. Harus dibarengi dengan tindakan juga. Jika kamu berharap bisa melupakan dia, maka kamu harus membuktikan dengan tindakan bahwa kamu memang berusaha melupakan dia.”
“Dan satu lagi. Sebelum kamu mengharapkan sesuatu yang jauh, lihat dulu pada apa yang ada di sekitar kamu. Syukuri dulu apa yang sudah kamu miliki. Yang ada saja belum disyukuri tapi sudah minta dan berharap yang lebih lagi. Jika seperti itu, apa namanya kalau bukan kurang ajar?” Tante Tasya tersenyum.
Sepertinya kata-kata itu sangat familiar. Kata-katanya persis dengan yang pernah kuucapkan pada Tiara di cerita bagaian awal. Jadi, Tante Tasya meniru ucapanku? Tentu saja tidak. Ia mengucapkannya di tahun 2017, sementara aku mengucapkannya di tahun 2020. Aku yang meniru karena terus mengingat ucapan Tanteku itu, sampai-sampai kujadikan sebagai salah satu prinsip hidupku. “Bersyukur dulu sebelum meminta dan mengharapkan yang lebih lagi!”.
Aku membalas senyuman Tante Tasya. “Amin.... iya, Aunty.” Lalu kucium tangan kanannya dan pamit. “Good bye, Aunty bag yes! See you soon.”
Aku berjalan menuju mobil, lalu masuk melalui pintu belakang sebelah kiri. Begitu aku masuk dan duduk, sebelum mobil pergi menuju terminal, Teh Ayla yang duduk di sebelah kananku berbisik membahas soal pertengkaran kecil kita. Katanya saat ia masih berada di dalam rumah Tante Tasya, ia tidak sengaja mendengar obrolan antara aku dengan Mamah. Reaksi dia hanya tersenyum sinis mendengar obrolan itu. Karena kata Teh Ayla, ia tahu betul apa yang sedang kulamunkan. Dan memang benar, ia tahu. Makanya langsung kubungkam saat ia hendak mengatakan nama seseorang yang sedang aku lamunkan.
Mungkin apa yang kulakukan terkesan sangat berlebihan. Bukan kenapa-kenapa, sih. Aku hanya tidak ingin mengecewakan Mamahku. Soalnya aku sudah berjanji kalau aku bisa melupakan dia, sosok “tokoh utama” dalam ceritaku ini. Tetapi kalian pasti tahu masalahnya apa. Masalahnya adalah dia “tokoh utama”. Kalau aku melupakannya berarti cerita ini harus berhenti sampai di sini. Ya sudah, terima kasih karena sudah membaca ceritaku sejauh ini.
Ya, tidak begitu, dong!
***
Sebelum lanjut dengan ceritaku. Aku ingin sedikit membahas lamunan Tante Tasya tentang terciptanya panggilan “Aunty bag yes dan Uncle day”. Panggilan sayangku saat kecil teruntuk Tante Tasya dan Om Hari.
Jadi, saat libur kuliah semester pertama, aku pulang ke kota Bandung. Dan sesuai janjiku, aku mampir dulu ke rumah Tante Tasya di kota Cirebon. Saat itulah ia bercerita kalau dirinya sempat melamun ketika melepas kepergianku menuju terminal. Melamunkan kenangan saat pertama kali aku memanggilnya, “Aunty bag yes”.
Kurang-lebih ceritanya seperti ini. Tapi biar lebih asyik, jangan aku yang bercerita.
Aku menengok ke arah Tiara. “Ra? Gantiin aku dong, sebentar.”
“Apaan sih, Kay? Jangan yang aneh-anehlah.”
“Nggak aneh. Kamu yang mengetik, aku yang bisikkin. Biar ceritanya dari sudut pandang orang ketiga. Bukan aku yang sedang menceritakan kisah masa kecilku sendiri. Karena yang seharusnya bercerita, Tante Tasya. Nah, maksudnya kamu yang menggantikan posisinya.”
Beruntung aku mempunyai teman seperti Tiara. Dia selalu mendukung seaneh apa pun kegiatan yang kulakukan, tentu selama masih positif. Tiara pun segera duduk di kursi untuk menggantikanku mengetik. Aku mengambil kursi lain di dekat meja riasku dan lekas duduk di samping Tiara.
“Aduh, aku nervous, nih, Kay. Masuk video!” Tiara tertawa kecil.
“Hello, Guys?”
“Ra...? Ini bukan vlog!”
“Iya, iya... ayo, mulai!”
Segera kubisikkan alur cerita lamunan Tante Tasya pada Tiara. Lalu Tiara mulai mengetik.
Dalam lamunanku melepas kepergian Kayla...
“Ra? Sudut pandang orang ketiga.”
“Katanya aku jadi Tante Tasya?”
“Jadi orang ketiga saja. Kan, kamu sudah biasa jadi orang ketiga.”
“Enak aja!”
“Bercanda, Ra... nanti yang kamu ketik, ‘Dalam lamunan Tante Tasya melepas kepergian Kayla...’ begitulah.”
“Oke...”
***
Dalam lamunan melepas kepergian Kayla menuju terminal. Tante Tasya mengingat kenangan saat Kayla kecil yang sedang “candu” belajar bahasa Inggris mencoba mengartikan semua hal ke dalam bahasa Inggris. Nama Om Hari dan Tante Tasya pun menjadi salah satu korban keganasan “translate ngawur” anak berusia empat tahun.
Ketika itu mereka semua sedang berkumpul di ruang tengah. Kayla sedang asyik bermain boneka. Om Hari menemani Kayla dengan duduk di sebelahnya sambil membaca koran. Sementara Tante Tasya sedang sibuk menyiapkan menu sarapan di meja makan yang letaknya di ruang tengah juga.
“Om Hari? Kay, sudah jago lho, bahasa Inggrisnya.”
Om Hari yang sebelumnya asyik membaca koran langsung mengalihkan perhatiannya pada keponakannya. “Wah, masa, sih? Coba kasih tahu Om Hari, bahasa Inggris apa yang Kayla tahu?”
“Mmm.... bahasa Inggrisnya Om, itu... uncle!”
“Wah, pintar... terus, apalagi?”
“Kalau bahasa Inggrisnya hari, itu... day!”
“Iya, day... pintar...” Om Hari yang curiga dengan maksud itu semua mencoba tetap antusias. Tentunya ia tidak ingin melukai hati Kayla kecil yang sedang semangat-semangatnya belajar bahasa Inggris. Sementara Tante Tasya yang juga curiga hanya bisa menahan tawa mendengar percakapan antara keponakan dan suaminya.
“Jadi... bahasa Inggrisnya Om Hari, itu... Uncle day!”
“Ha, ha, ha, iya... Uncle day! Bisa gitu, ya. Om baru tahu, lho.” ternyata kecurigaan Om Hari benar.
“Berarti mulai sekarang, Kay panggil Om Hari ‘Uncle day’ saja, ya?”
“Iya. Ide yang bagus Princess! Uncle day. Baguuusss banget! Yuk, sekarang kita sarapan dulu.” Tante Tasya menjawab pertanyaan Kayla yang sebenarnya ditujukan kepada Om Hari.
“Pises?” tanya Kayla pada Tante Tasya.
“Princess! Artinya, Tuan Putri.”
“Tante Tasya, ke sini dulu sebentar. Duduk di sebelah Uncle day.”
“Oke... tapi janji ya, nanti sarapannya yang banyak.”
“Iya.”
Tante Tasya lekas menghampiri keponakan dan suaminya. Lalu ia duduk di sebelah kiri sang suami. Ia yang sedikit curiga sempat berbisik kepada sang suami, “A? Ada yang aneh dengan nama saya?”
Dengan cuek Om Hari menjawab, “Tidak tahu ah, lagi malas mikir. Bad mood... Uncle day! Sudah, lihat saja. Nyenengin keponakan ini.”
“Tante? bahasa Inggrisnya Tante, itu... aunty!”
“Iya, seratus untuk Princess Kayla.”
“Kalau bahasa Inggrisnya tas, itu... bag!”
Om Hari yang duduk menyimak di sebelah istrinya langsung menyikut pelan lengan sang istri. Sembari manahan tawa ia berbisik, “Sayang? Ini bisa lebih parah dari nama saya.”
“Saya tidak menyangka A, arahnya sampai ke situ,” balas Tante Tasya.
Sementara Kayla kecil masih melanjutkan ucapannya. “Nah, bahasa Inggrisnya ya, itu...”
“YES!” dengan semangat Tante Tasya memotong ucapan Kayla sambil mengepalkan telapak tangan kanannya.
Wajah cemberut Kayla hadiahkan kepada sang tante sebagai bentuk kekesalan. Dengan tatapan sinis ia protes kepada Tantenya. “Ih... Tante! Kan, Kay yang lagi belajar Bahasa Inggris!”
Melihat ekspresi lucu dari keponakannya, Tante Tasya pun mencubit gemas kedua pipi Kayla. “Iya, iya... maaf ya, Tuan Putri. Ayo, lanjut.”
“Jadi, Bahasa Inggrisnya Tante Tasya, itu, Aunty bag yes!”
Mendengar hal itu, naluri “emak-emak” tante Tasya pun keluar, mulutnya mulai meracau. Dengan suara yang pelan ia mengeluarkan keluh-kesah di dalam hatinya, “Iya... tidak ada yang salah, sih. Jika diartikan per kata seperti itu, ya, hasilnya memang begitu. Tapi, itu salah! Tasya itu nama orang dan satu kata, bukan Tas dan Ya. Jadi bahasa Inggrisnya tetap Tasya gitu, lho. Harusnya Aunty Tasya, bukan Aunty bag yes. Saya saja memanggil dia Princess Kayla bukan Princess... bahasa Inggris ‘ngawur’ dari nama Kayla, apa ya? Kay dan La?! Ah.... susah juga ya, mencari kesalahan. Perasaan, mencari kesalahan orang lain itu gampang. Sudahlah... ini, keponakan tersayang, jadi mau bagaimana lagi? Terima saja.”
Om Hari yang melihat istrinya menggerutu langsung menyenggolnya dan memberikan kode jari telunjuk di mulut, “Sssttt!”
Tante Tasya menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. “Oke, deh. Lupakan tentang Aunty bag yes. Sekarang istirahat dulu belajar bahasa Inggrisnya. Sudah waktunya untuk sarapan. Dan sesuai janji, makannya harus banyak!” Tante Tasya langsung menggendong Kayla dan membawanya menuju meja makan.
“Siap, Aunty bag yes.”
Tante Tasya yang masih belum terima dengan panggilan itu, berbisik mengadu kepada sang suami yang berjalan di sebelahnya. “A? Masa Aunty bag yes, sih?”
“Sudah, panggilan ‘Sayang’. Nanti saat Kayla sudah besar akan ingat dan kangen terus dengan momen yang seperti ini. Kamu juga pasti kangen jika Kayla sudah tidak memanggil kamu dengan sebutan itu lagi.”
***
“Oke, Ra. Untuk saat ini cukup sampai di sini. Sekarang giliranku lagi.”
“Untuk saat ini? Berarti aku bakal nulis lagi?” Tiara bertanya sembari bertukar posisi duduk denganku.
“Mungkin... barangkali ada sudut pandang orang ketiga lagi. Nah, biar enak maka kamu yang menulis.”
“Awas aja kalau nama aku nggak kamu cantumin sebagai penulis juga.” Tiara tertawa lalu berjalan menuju tempat tidurku. Ia mulai merebahkan tubuhnya di kasur. Mungkin dia sudah mengantuk karena sekarang sudah jam setengah dua belas malam. Biasanya jam sembilan malam pun dia sudah tertidur pulas.
Aku tersenyum dan mulai mengambil alih penulisan cerita. Sebenarnya aku berniat menyusul Tiara untuk istirahat juga. Tapi tanggung, karena cerita bagian ini sedikit lagi selesai.
Apa yang dikatakan Om Hari kepada Tante Tasya memang benar. Kalau saja saat itu aku sudah tahu bahwa nama orang dalam bahasa Inggrisnya sama. Apakah momen itu akan sebegitu membekas di ingatan? Kemungkinan besar, tidak! Apa spesialnya kalau saat itu aku memanggil “Uncle Hari dan Aunty Tasya”?
Sama halnya dengan ingatanku tentang laki-laki yang menjadi tokoh utama dalam ceritaku ini. Kalau saja saat itu aku tidak menerima tawaran darinya untuk mengantarku pulang ke rumah Tante Tasya. Maka aku tidak akan mendengar kata-kata ajaib yang keluar dari mulutnya. Kata-kata ajaib yang akhirnya begitu membekas di ingatanku, bahkan sampai sekarang.
Memangnya, kata-kata ajaib seperti apa? Seperti apa, ya? Biarkan lamunanku dalam perjalanan menuju kota Semarang yang memberikan jawaban.
***
Posting Komentar
Posting Komentar