Hana dan Lamunannya: Maafkan

Posting Komentar

Kata temanku, ini adalah sebuah cerita sebagai bentuk permohonan maafku pada dia. Dia siapa? Nanti juga tahu.

Hana dan Lamunannya: Maafkan

#2 MAAFKAN

Ehem... dia ‘si Tokoh Utama’ dalam ceritamu ini, udah mengajari kamu banyak hal ya, Kay. Terutamanya soal cinta. Tapi kamu juga tahu, kan. Hal terpenting dari masa lalu yang buruk adalah bukan tentang menyesali, tetapi memperbaiki. Dan kamu udah berusaha memperbaikinya, you’re on the right track. Kalau hasilnya belum sesuai dengan keinginan, bukan berarti prosesnya gagal. Bisa jadi karena belum waktunya, atau hasil terbaiknya memang bukan seperti yang kamu inginkan.”

“Iya, selama ini kamu pengin banget ketemu dia lagi, untuk memberitahukan apa yang belum dia ketahui dari kamu. Tapi, sejak tahun 2017 sampai sekarang, kalian belum ketemu juga. Mungkin belum waktunya ketemu. Atau yang terbaiknya memang kalian nggak ketemu lagi.”

Aku kira Tiara sudah tidur, karena ia anaknya “pelor” banget. Begitu kepalanya menempel di bantal biasanya langsung molor.

“Dulu, ada dia di dekatku, Ra. Tapi aku malah ngelihat dan berharap pada laki-laki lain yang jauh dariku. Jelas-jelas dia sudah bisa membuatku bahagia, membuatku tersenyum, membuatku tertawa. Sayangnya egoku berkata, itu saja nggak cukup. Aku bisa mendapatkan yang lebih dari itu bersama laki-laki lain. Akhirnya aku meninggalkan dia dan memintanya menghilang dari kehidupanku. Terus aku milih si laki-laki lain itu. Eh, hasilnya malah nihil. Apanya yang lebih baik? Untuk sekedar menyamai dia saja sangat-sangat nggak bisa!”

“Kalau mengingat kenangan bersama dia, salah satu yang paling membekas di ingatan aku adalah saat pergi ke Pantai Anyer bareng dia. Perjalanan yang harusnya penuh kebahagiaan malah aku tukar dengan pengkhianatan...”

“Jadi, ceritanya udah dimulai, nih?” tanya Tiara.

“Eh, belum, Ra. Tadi anggap saja spoiler dulu. Kamu sih, mancing-mancing bahas dia.”

“Lah, bukannya cerita ini memang tentang dia?”

“Iya... tapi seperti halnya sebuah skripsi, aku mau memulai ceritaku dengan pendahuluan dan menjelaskan latar belakang masalahnya. Baru setelah itu masuk ke tahap pembahasan.”

“Sok banget menganologikan cerita kayak skripsi. Segala pendahuluan, latar belakang masalah, pembahasan. Kayla! Skripsimu aja baru di tahap pengajuan judul.”

“Koreksi ya, sudah disetujui bukan baru mengajukan judul.”

“Memang apa bedanya mereka yang sedang menunggu persetujuan judul dengan kamu yang judulnya sudah disetujui tapi belum melanjutkan ke tahap selanjutnya? Nggak ada bedanya, Kay. Sama-sama nggak beranjak. Hanya aja kamu nggak beranjak bukan karena kamu nggak bisa, tapi karena kamu nggak mau. Mungkin seperti itu juga gambaran perasaan kamu ke dia. Perasaan kamu ke dia belum hilang bukan karena kamu nggak bisa melupakan, tapi karena kamu nggak mau, Kay.”

“Iya, bisa jadi, Ra. Apakah itu salah?”

“Hmmm... kalau dilihat dari sudut pandang normal... jelas salah. Judulnya udah disetujui, artinya kamu harus beralih ke tahap berikutnya yaitu menyusun proposal. Ini, udah berbulan-bulan lamanya, kenapa belum dilanjutkan?!”

“Kamu dan dia udah berpisah, udah nggak ada lagi ‘hubungan spesial’. Artinya kamu harus beralih ke tahap berikutnya yaitu melupakan. Dalam artian kisah yang udah berlalu, ya, biarlah berlalu. Ini, udah bertahun-tahun lamanya, kenapa rasa itu belum berubah?”

“Tapi... ada kalanya ngelihat suatu hal itu nggak cukup hanya dari sudut pandang normal. Karena kita belum tentu tahu alasan pasti seseorang menunda mengerjakan skripsinya. Atau alasan pasti seseorang belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Kalau aku sih, tahu, alasan kedua hal itu terjadi sama kamu. Dan aku cukup bisa memaklumi. Tapi kalau dosbing-mu, jangan harap ya, Kay!” Tiara tertawa.

Aku pun ikut tertawa. “Ya sudah. Pokoknya lupakan dulu soal skripsi yang sesungguhnya, Ra. Intinya sekarang aku mau menjelaskan latar belakang masalah dari ceritaku ini. Terserah kamu setuju atau nggak dengan anologiku.”

***

Sebenarnya latar belakang ceritaku ini sangat sederhana, dan Tiara pun sudah mengatakannya. Aku ingin bertemu dengan dia, lagi. Tapi kenyataannya tidak sesederhana yang kupikirkan. Karena sudah bertahun-tahun lamanya, kita masih belum dipertemukan juga.

Alasan kenapa aku ingin bertemu dengan dia lagi adalah untuk meminta maaf atas “kebohongan dan pengkhianatan” yang pernah kulakukan padanya. Aku hanya ingin menjelaskan apa yang selama ini kusembunyikan darinya. Meski kalau kuingat sifatnya, mungkin dia sudah memaafkan semua kesalahanku. Tapi, yang jelas aku belum bertemu dengannya lagi sejak tahun 2017. Jadi aku belum bisa menganggap kesalahanku sudah dimaafkan olehnya, karena aku belum mendengar darinya secara langsung.

Keresahan itulah yang dulu sempat mengacaukan perkuliahanku. Keresahan itulah yang sampai kini masih mengganggu pikiranku. Keresahan itulah yang membuatku sulit fokus mengerjakan skripsiku. Iya, skripsiku tertunda bukan perkara malas, ya... tapi, faktor malasnya pun ada, sih, hehehe. Jangan ditiru!

Di sisi lain, aku bingung harus berbuat apa. Aku sudah melakukan segala cara untuk bisa bertemu dengan dia, dan belum ada hasil. Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu aku mempunyai ide. Meski dengan ideku ini masih belum bisa dikatakan sebagai pembicaraan secara langsung. Karena dulu dia bilang kalau aku ingin mengatakan sesuatu padanya, maka katakan di depan muka dia langsung. Tapi mau bagaimana lagi, kan. Setidaknya ini salah satu usahaku.

Jadi, kuanggap bahwa aku dan dia mungkin tidak akan bertemu lagi. Maka aku berjanji untuk memberi tahu kebohongan yang kusembunyikan darinya dengan bercerita. Cerita yang hasilnya dalam bentuk rekaman suara, rekaman video, dan tulisan. Agar tidak terlalu “kejam”, akan kuselipkan sedikit kisah cinta antara kita juga. Karena dia berhak tahu kalau dirinya pernah menjadi hal terindah dalam hidupku.

Nantinya untuk hasil tulisan, harapanku bisa diterbitkan menjadi sebuah buku. Tapi itu impian yang terlalu jauh, hehehe. Bukan apa-apa, sih, karena dengan menjadi buka maka secara tidak langsung kemungkinan dia mengetahui kebenarannya akan semakin besar. Kalau hasil rekaman video dan suara, aku belum kepikiran untuk apa. Mungkin sekedar koleksi pribadi saja. Dan saat ini, aku akan menepati janjiku dengan mulai bercerita.

Itulah latar belakang kenapa saat ini aku duduk di depan laptopku dan melakukan hal “ajaib” seperti yang Tiara katakan. Itulah alasan kenapa saat ini aku rela menunda mengerjakan skripsiku agar cerita ini cepat selesai. Itulah alasan kenapa saat ini kalian duduk manis membaca ceritaku ini. Sebuah cerita sebagai bentuk permohonan maafku pada dia. Dia siapa? Nanti juga tahu.

Tapi ada satu hal lagi yang mengganggu pikiranku. Aku bingung harus memulai cerita dari mana. Hmmm... dari mana, ya?

Seketika aku teringat dengan perjalanan pertamaku menaiki bus menuju kota Semarang. Iya, kala itu untuk pertama kalinya aku melakukan perjalanan jauh dengan menaiki bus umum. Dan seperti yang pernah dia katakan padaku, sangat mengasyikkan. Meski pikiranku tidak sepenuhnya menikmati perjalanan itu. Karena selama perjalanan lebih banyak kuisi dengan melamunkan kenangan-kenangan bersamanya. Dimulai dari pertemuan, perpisahan, pertemuan lagi, kebersamaan, dan perpisahan lagi. Begitulah!

Oke, kuputuskan untuk memulai cerita dari perjalananku menuju kota Semarang itu. Berhubung cerita bagian pertama dan kedua memakai judul lagu Slank. Rasanya kurang lengkap kalau aku tidak menjadikan judul lagu Slank sebagai judul ceritaku pada bagian-bagian selanjutnya. Aku yakin dia pun setuju dengan ideku ini. Iya, kan? Iya sajalah biar cepat.

Oh iya, antara lagu dan ceritaku ini tidak memiliki kisah yang sama. Satu-dua mungkin ada yang cocok karena hasil dari cocoklogi-ku. Jadi kalau kalian membaca cerita dan dirasa tidak sesuai dengan lagu yang menjadi judulnya, itu sangat wajar. Karena kisah di balik lagu-lagunya Slank, tentu saja bukan dari ceritaku ini.

Satu lagi. Kalau rangkaian kata-kata biasa yang kutulis ini bisa terwujud menjadi sebuah buku, mungkin aku akan memberi judul, “Hana dan Lamunannya (ketika mawar merah berubah menjadi tangkai berduri)”. Meskipun yang ada di judul adalah namaku, tapi tokoh utamanya adalah dia, tetap dia, selalu dia.

***

“Kayla...? Tidur! udah malam,” seru Tiara dengan suara pelan. Sepertinya ia dalam keadaan setengah sadar.

Aku melihat jam, ternyata sudah jam dua belas malam. Belum mengantuk, sih. Tapi aku tidak boleh mengelak kalau tubuhku ini butuh istirahat. Belum lagi laptop yang kupakai untuk mengetik. Handphone yang kupakai untuk merekam suara. Dan kamera yang kupakai untuk merekam video. Mereka pun pasti sudah lelah. Sebagai majikan yang baik, aku harus memberi mereka hak untuk beristirahat.

***

Related Posts

Posting Komentar