Hana dan Lamunannya: Intros

Posting Komentar

Kata temanku, ini adalah sebuah cerita sebagai bentuk permohonan maafku pada dia. Dia siapa? Nanti juga tahu.

Hana dan Lamunannya: Intros

#1 INTROS

Semarang, 04 September 2020, pukul 19.06 WIB.

Aku duduk di kursi dan lekas menyalakan laptop yang berada di atas meja belajarku. Sebuah kamera yang kupasang di depanku sudah memulai tugasnya, merekam video sekaligus suara. Tetapi untuk berjaga-jaga, kunyalakan juga aplikasi perekam suara yang ada di handphone-ku. Iya, kalau ada masalah dengan suara di dalam video, setidaknya masih ada rekaman suara yang bisa menjadi “juru selamatnya”. Lalu kubuka aplikasi Notepad di laptopku, aplikasi yang akan menjadi saksi bisu terangkainya kata demi kata dari ceritaku ini.

Kenapa aku memilih Notepad? Kenapa aku tidak memilih aplikasi yang kebanyakan orang gunakan untuk mengetik di laptop? Nggak kenapa-kenapa. Aku hanya kasihan saja dengan Notepad, karena keberadaannya di sebuah laptop sering kali tidak dianggap. Dan aku yakin, itu pasti menyakitkan. Bukan karena aku pernah merasakan tidak dianggap, yang ada malah sebaliknya. Aku pernah tidak menganggap keberadaan dia, seorang laki-laki yang akan menjadi tokoh utama dalam ceritaku ini. Makanya sebisa mungkin kucoba untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, tidak menganggap keberadaan seseorang di dekatku.

Tapi Notepad bukan orang, hanya sebatas media untuk mengetik tulisan di laptop. Iya, aku tahu. Apa salahnya melatih kebiasaan itu dengan benda mati yang tidak merasakan sakit hati. Setidaknya kalau ada perbuatanku yang kurang mengenakan, ia tidak akan marah apalagi meninggalkan. Berbeda halnya kalau aku sudah berurusan dengan yang punya hati, terlalu berisiko untuk melakukan “trial and error” lagi. Seperti halnya “trial and error” yang pernah kulakukan pada dia.

Oke, setelah semuanya siap (kamera, perekam suara, dan Notepad), mulutku pun mulai mengeluarkan syair-syairnya. Sementara jemariku mulai berdansa menerjemahkan setiap syair yang kuucapkan menjadi tulisan. Sebentar, apakah aku bisa menyebut ini sebagai syair? Sepertinya tidak. Apa yang keluar dari mulutku tak lebih dari sekedar rangkaian kata-kata biasa. Baiklah kalau begitu, ini bukanlah syair melainkan hanya sebatas kata. Dan kata pertama yang kuketikkan adalah, “Intros”.

Aku mengambil kata itu dari salah satu judul lagu grup musik kesukaanku, dan kesukaan dia juga, Slank. Karena penggalan lirik lagunya cukup menggambarkan keadaanku sekarang, “hanya mimpi yang semangati”. Iya, hanya mimpi yang semangatiku untuk bisa menutup kisah lalu dan membuka kisah baru bersamanya. Hanya mimpi yang semangatiku untuk bisa menyelesaikan cerita ini, cerita yang entah apakah akan ada orang yang sudi menukar waktu untuk membacanya. Yang jelas ceritaku ini harus diselesaikan, karena ini adalah caraku menutup kisah lalu bersama dia.

Kata “intro” sendiri identik dengan makna awal atau pembukaan. Jadi sangat pas kalau aku memakainya sebagai judul bagian pertama pada sebuah cerita. Meskipun judul lagu Slank adalah “intros” bukan “intro”. Kuanggap maksudnya sama. Tetapi kalau melihat pada keseluruhan liriknya, kata “intros” di judul lagu Slank itu mengacu pada kata “introspeksi”. Maknanya adalah sebuah bentuk koreksi terhadap perbuatan, sikap, atau kesalahan diri sendiri. Baguslah, cocok juga untuk dijadikan sebagai judul bagian pertama ceritaku ini. Karena cerita ini memang tentang perbuatan, sikap, atau kesalahan yang pernah kulakukan pada dia.

Judul bagian pertama sudah kudapatkan, sekarang aku akan mulai menulis isinya.

***

Kira-kira perlu perkenalan tidak, ya? Anggap saja perlu. Kan, kalian belum kenal aku. Dan barangkali dia pun sudah lupa dengan namaku.

Hai? Perkenalkan nama aku Kayla Raihana Putri Nugraha. Biasanya aku dipanggil Kay, atau Kayla. Tetapi dia memanggilku Hana. Dia siapa? Nanti juga tahu.

Saat ini aku berstatus sebagai mahasiswa S1 jurusan Teknik Informatika di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Semarang. Dan aku sudah divonis menjadi mahasiswa semester tua. Untung saja bukan vonis mahasiswa abadi, hehehe. Tapi kalau aku terus-terusan menunda mengerjakan skripsi seperti sekarang ini, bisa-bisa vonisku berganti menjadi mahasiswa abadi. Jangan sampai! Aku janji deh, setelah ceritaku ini selesai, aku akan fokus mengerjakan skripsiku.

Iya, tak terasa aku sudah sampai di penghujung masa perkuliahanku, semester tujuh menuju semester delapan. Perasaan, baru kemarin menjadi maba, alias mahasiswa baru. Memang waktu berlalu dengan cepat, ya!

“Ah, lebay. Tak terasa-tak terasa, kuliah hampir empat tahun apanya yang tak terasa?! Kalau empat hari, mungkin tak terasa. Kalau empat tahun, ya, terasa bangetlah!” tiba-tiba temanku menyela, namanya Tiara. Ia baru saja masuk ke kamarku. Dan dari suara yang kudengar, setelah menutup pintu ia langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidurku. Artinya dari posisi dudukku sekarang, ia persis berada di belakangku.

Tanpa menengok ke arah Tiara, aku menyuruh dia untuk tidak mengganggu. “Diam kamu, Ra! Aku lagi fokus. Berbicara sambil mengetik, nggak gampang, tahu!”

Tiara, “teman kecilku” yang sedari TK sampai sekarang tidak terpisahkan denganku. Saat ini saja kita kuliah di kampus, jurusan, bahkan kelas yang sama. Kita pun tinggal di rumah kontrakan yang sama, tetapi kamarnya berbeda. Karena aturan sewanya satu kamar untuk satu orang. Hanya saja ia sering main bahkan tidur di kamarku. Apakah setiap hari masih layak disebutkan dengan kata “sering”? Entahlah. Yang jelas kamarku adalah kamar Tiara, dan kamar Tiara adalah... kamar Tiara seorang.

Sebenarnya malam ini aku sudah meminta Tiara untuk tidak tidur di sini dulu. Tapi ia tetap datang. Ya sudahlah.

“Oh... jadi kamu sudah mulai mengerjakan ide ‘ajaibmu’ itu. Sebuah cerita sebagai bentuk permohonan maafmu pada dia? Sebuah surat berbentuk buku, begitu? Atau apalah disebutnya. Tapi jangan berlebihan, dong! Silakan kamu bercerita, tapi biasa saja. Jangan lebay, Kay! Bilang kuliah empat tahun nggak terasa. Memangnya kamu nggak ingat pas semester lima ngeluh ke aku, ‘Ra, mending nikah aja deh, daripada kuliah. Kalau aku ketemu lagi sama (maaf, nama tokoh utamanya aku sensor dulu). Aku minta dilamar sajalah’. Padahal kalaupun ketemu, dia belum tentu mau melamar kamu. Iya, setelah apa yang pernah kamu lakukan padanya dulu, rasanya dia nggak mungkin mau.”

“Itu bercanda Ra... meskipun yang soal dilamarnya, aku serius, sih. Intinya baik mereka yang memilih kuliah, memilih bekerja, ataupun memilih menikah. Pasti akan merasakan suka-dukanya sendiri-sendiri. Jadi sampai kapan pun nggak akan bisa dibanding-bandingkan. Karena pada dasarnya nggak ada yang lebih baik dan nggak ada yang lebih buruk. Ketiganya sama-sama baik, kok.”

“Oh iya, Ra. Di cerita ini nama dia aku rahasiain dulu. Nanti baru kukasih tahu pas kejadian saat aku berkenalan dengan dia. Biar yang membaca ceritaku ini ikut merasakan apa yang kurasakan dulu. Mencari seseorang yang bahkan namanya pun aku nggak tahu. Jadi jangan sebut-sebut nama dia lagi, ya, Ra!”

“Sudah seperti larangan menyebut ‘Voldemort’ di serial ‘Harry Potter’, atau menyebut ‘Choji Gemuk’ di serial anime ‘Naruto’, ya.” Tiara tertawa kecil.

Dialah Tiara, seorang penggemar berat serial “Harry Potter” dan anime “Naruto”. Saking sukanya dengan anime Naruto, mungkin dia lebih hafal silsilah keluarga Naruto daripada keluarganya sendiri.

“Aku dengar, lho!”

“Kalau aku sebut nama dia lagi, tinggal nggak usah ditulis saja, Kay. Kok, repot banget!” protes Tiara.

“Iya, kalau tulisan bisa nggak kutulis, Ra. Kayak yang tadi. Pas kamu sebut nama dia, sudah aku ‘sensor’. Tapi kalau di video atau rekaman suara, kan, nggak segampang itu, Ra. Harus aku sensor atau hapus secara manual saat editing nanti. Justru itu yang, REPOT BANGET!”

“Iya, iya. Ya sudah, lanjutkan ceritanya. Tapi jangan lebay!”

“Iya Ra...”

“Ngomong-ngomong, orang tuanya Naruto, siapa Ra?”

“Uzumaki Kushina sama Namikaze Minato.”

“Kalau orang tua kamu?”

“Apaan, sih? Tanya-tanya orang tuaku?”

“Tuh, kan. Lebih hafal silsilah keluarga Naruto.”

“Nggak gitu, ya, konsepnya. Kayla!”

Aku hanya tertawa mendengar protes dari Tiara. Lalu mulai melanjutkan narasi ceritaku.

Terasa banget ya, capeknya. Kuliah sudah sampai di semester akhir. Tetapi kuliah yang kurasa dihabiskan dengan “haha-hihi” bersama Tiara, tahu-tahu sekarang aku sedang bergelut dengan rasa malasku untuk mengerjakan skripsi.

“Giliran nggak lebay malah ngeledek...” protes Tiara lagi.

“Lagian, kamu ngapain, sih? Kamu punya banyak waktu senggang tapi malah bikin sesuatu yang nggak jelas begini. Harusnya kamu mengutamakan yang prioritas, Kay. Ini, apa? Rekam video iya, rekam suara iya, berbicara iya, mengetik iya. Tujuan kamu apa sih, Kay?”

“Ra! Aku sudah lama nggak ikut kejuaraan Karate. Kamu mau mengajak aku sparing? Ini baru mulai menulis bagian pertama kamu sudah ngerecokin terus. Sebenarnya kalau aku mau ngusir kamu dari sini, itu hak aku, karena ini memang kamarku. Tapi aku mencoba baik sama kamu, Ra. Nggak apa-apa kamu tetap berada di sini. Jadi tolong jangan berisik dulu ya, Teteh Tiara nu geulis.

“Iya, iya, maaf. Omonganku tinggal diabaikan saja, Kay.”

“Kan, sore tadi aku sudah bilang. Sebelum aku memulai semua ini. Aku sudah bilang kalau aku akan membuat sebuah karya yang kata kamu ‘ajaib’. Sebuah karya untuk menutup kisah laluku bersama dia yang istimewa. Jadi karyanya pun harus istimewa... sebuah surat berbentuk buku.”

Konsepnya aku merekam video dan suara, terus aku berbicara dan mengetik juga. Nanti hasilnya ada rekaman suara, rekaman video, dan tentunya tulisan. Jadi apa yang kuucap, apa yang kulakukan, apa yang kulihat, dan apa yang kudengar khususnya di kamar ini. Akan masuk ke dalam cerita, Ra. Makanya kamu jangan berbuat yang aneh-aneh.”

“Apa pun yang kamu dengar, Kay?”

“Iya, Ra...” jawabku dengan perasaan yang sedikit curiga.

“Wkhsaghdsacahe ajhbdbcaynsmajs huasebbakaubzd cdsah,” Tiara mengoceh tak karuan.

Pantas saja aku merasa curiga. Si Tiara benar-benar ingin menguji kesabaranku. Diberi himbauan bukannya menurut malah melakukan sebaliknya. Dibilang jangan berisik malah berbicara tak karuan. Aku rasa kalian pun mempunyai teman yang spesifikasinya seperti Tiara ini. Kalau ada yang bilang tidak punya, artinya kalianlah orangnya, hahaha.

“Itu, kamu ketik juga, Kay?”

Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. “Iya, Ra!” jawabku dengan sedikit kesal.

“Tapi aku nggak tahu, kira-kira penulisanku sudah sesuai KBBI belum, ya?”

Tiara tertawa. “KBBI?... KBBA! Kamus besar bahasa alien.”

“Kayaknya bahas alien pun nggak seburuk itu, Ra.”

Tiara kembali tertawa. “Iya, lagi!”

“Okelah, kalau sudah sebegitunya berarti niat banget, sih. Good luck, Kay. Aku nggak bakal berisik. Tapi kalau ada hal yang mengganggu pendengaranku dan pengin banget aku sanggah. Nggak apa-apa kan, kalau aku ngomong lagi?”

“Iya, boleh, Ra. Selama masih wajar, aku ngertiin, kok.”

***

Kuliah yang kurasa begini-begitu saja, tahu-tahu sudah sampai di titik perjuangan untuk menyelesaikan skripsi. Memangnya skripsiku sudah sampai mana? Bab 2? Bab 3? Bab 4? Seminar proposal? Penelitian? Atau akan sidang?

Sampai mana, ya?! Sebentar, aku ingat-ingat dulu. Seingatku belum sampai seminar proposal atau penelitian apalagi sidang. Tapi sudah lumayan jauh, kok, progresnya. Oh iya, aku baru ingat. Aku sudah sampai di tahap persetujuan judul oleh dosen pembimbing. Lumayan jauh, bukan!

Sebenarnya aku sempat protes kepada dosen pembimbingku, “Harus menyusun skripsi, ya? Boleh tidak diganti dengan menulis buku saja?”. Beliau menjawab, “Boleh, sangat boleh. Jika kamu ingin menulis buku ilmiah, silakan. Ingin membahas soal apa?”. Kalau seperti itu sama saja bohong. Ibaratnya aku keluar dari sumur sedalam tiga meter, lalu beralih masuk ke sumur sedalam enam meter. Semakin pusing untuk keluarnya. Salahku juga sih, karena tanyanya tidak lengkap.

Ah, andai skripsi boleh diganti dengan menulis buku tentang pengalaman hidup diri sendiri. Mungkin pengalaman hidupku ini bisa berguna bagi orang lain. Tentunya agar tidak melakukan kesalahan yang sama sepertiku. Dan kalau iya dibolehkan, maka karyaku satu ini bisa kuajukan sebagai pengganti skripsi.

“Hey, Kayla? Memangnya kamu siapa? Sok banget ingin membagikan pengalaman hidup dengan menulis sebuah buku, dan berharap bukunya bisa menjadi pengganti skripsi lagi!” Tiara kembali menyela. Kali ini kubiarkan, karena apa yang ia bicarakan cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut.

“Iya, mungkin aku bukan siapa-siapa, Ra. Tapi, apakah aku harus menjadi siapa-siapa dulu untuk boleh berkarya, untuk boleh bercerita, untuk boleh menulis, untuk boleh membagikan pengalaman hidup? Kalau iya, sangat nggak adil sekali dunia ini.”

“Bukan begitu, Kay. Kamu boleh, kok, melakukan itu semua. Aku juga nggak melarang. Hanya saja, kalau kamu bukan siapa-siapa, nanti siapa yang akan mengagumi karya kamu? Siapa yang akan mendengar cerita kamu? Siapa yang akan membaca tulisan kamu? Siapa yang akan mengambil pelajaran dari kisah hidup kamu? Jadi ini bukan tentang adil atau nggak adil. Ini bukan tentang boleh berkarya atau nggak. Nyatanya memang seperti itu, perlu ‘jadi siapa-siapa’ dulu.”

Aku sedikit menengok ke arah Tiara yang berada di belakangku. Ternyata ia sudah tidak berbaring, melainkan sedang duduk memperhatikanku. Mungkin pembahasan ini terlalu disayangkan kalau dibicarakan sambil rebahan.

“Omongan kamu mungkin ada benarnya. Tapi... kamu tanya siapa yang akan mengagumi karyaku? Kamu tanya siapa yang akan mendengar ceritaku? Kamu tanya siapa yang akan membaca tulisanku? Kamu tanya siapa yang akan mengambil pelajaran dari kisah hidupku? Coba lihat ke arah kanan kamu, Ra.”

Jadi, di kamarku terdapat sebuah cermin. Cermin berukuran besar yang bisa digunakan untuk bercermin mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Letaknya berada di sebelah kanan dari posisi duduk Tiara. Aku sempatkan untuk menengok ke arah Tiara lagi, ternyata ia menuruti apa yang kuperintahkan.

“Sudah lihat, Ra? Iya, jawabannya adalah kamu, Tiara Citrakara.”

Aku menghela napas sejenak. “Aku yakin kamu akan bangga dengan karya dan pencapaianku. Aku yakin kamu akan mendengar semua ceritaku. Aku yakin kamu akan membaca setiap tulisanku. Aku yakin kamu akan mengambil pelajaran dari kisah hidupku, kalau ada. Bahkan selama ini kamu sudah melakukan semua itu, Ra. Iya, tanpa aku minta sekalipun kamu pasti melakukannya.”

“Dulu, saat aku juara karate tingkat provinsi, kamu bangganya luar biasa. Kayak kejadian di kantin sekolah. Pas Ibunya datang mengantarkan makanan, kamu langsung ngomong, ‘Bu? Ibu harus bangga karena kantinnya dikunjungi sang juara satu karate tingkat provinsi!’. Terus pas ketemu penjaga sekolah, kamu juga nyeletuk, ‘Pak? Berani nggak sama saya? Kalau berani, lawan dulu teman saya. Dia juara satu karate tingkat provinsi, lho!’.”

“Walau sebenarnya hal-hal seperti itu kadang bikin aku risi. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, siapa sih, yang akan bangga sampai sebegitunya melebihi kamu. Bahkan keluargaku sekalipun nggak sebegitunya. Iya, aku kalau pergi ke Mal sama Mamahku, Mamah nggak pernah nantanging satpam Mal kayak kamu yang nantangin penjaga sekolah,” tutupku dengan sedikit tertawa.

Sementara Tiara tertawa keras mendengar candaanku itu. “Memang yang melakukan hal semacam itu cuma orang yang otaknya agak-agak gimana, Kay. Dasar aku!”

“Otaknya jenius, ya, Ra.”

“Iya, jenius. Jeniusnya agak-agak. Masuk klasifikasi kecerdasan baru,” Tiara masih tertawa. Meski tidak sekeras sebelumnya.

Aku menghentikan aktivitasku sejenak dan ikut tertawa. Lalu aku mulai berbicara dan mengetik lagi. “Selain itu, aku pun tahu apa yang kamu lakukan hanya candaan, Ra. Jadi aku menikmati saja hal-hal yang kamu lakukan.”

“Terus, sering juga tanpa aku bilang kalau aku sedang butuh seseorang untuk mendengarkan ceritaku. Kamu tahu dengan sendirinya dan langsung bilang, ‘aku siap dengar cerita kamu, Kay!’.”

“Terkadang kita... eh, aku ralat. Jangan melibatkan orang lain dalam hal negatif yang dilakukan diri sendiri. Terkadang aku selalu melihat dan mengharapkan sesuatu yang jauh dari kenyataan, Ra. Memang, mempunyai sebuah impian dan harapan yang tinggi, itu boleh-boleh saja. Bahkan banyak hal besar yang tercipta berawal dari itu. Sama halnya denganku, aku menulis cerita ini mempunyai impian dan harapan, bahwa suatu hari nanti ceritaku bisa dibaca oleh banyak orang.”

“Tapi, menurutku itu kurang tepat. Seharusnya kalau aku melihat dan mengharapkan sesuatu, jangan yang jauh-jauh dulu, Ra. Lihat dan berharap pada apa yang ada di dekatku dulu. Iya, aku harus mulai dengan mensyukuri hal terkecil sekalipun yang ada di sekitarku. Pendengar atau pembaca ceritaku yang banyak, masih jauh dari kenyataan. Tapi kamu, jelas-jelas sudah ada di sini, Ra. Bahkan kamu sudah mendengarkan sebelum ceritaku ini dimulai. Jadi, aku harus bersyukur dulu atas kehadiranmu. Baru setelahnya aku bisa berharap akan kehadiran orang-orang lain.”

“Kalaupun, ini, amit-amit sih, ya. Kalaupun kamu, semua orang... nggak kagum dengan karyaku, nggak dengar ceritaku, nggak baca tulisanku. Setidaknya masih ada satu orang yang akan menjadi penikmat karya itu. Siapakah orangnya? Si Penciptanya, Ra... Aku!”

“Intinya, sekarang mending kamu ubah kritikan-kritikan kamu menjadi dukungan. Nggak salah juga, sih, memberi kritikan. Tapi kalau hal yang dikritik belum ada, ganti menjadi dukungan dulu. Dukung apa yang sedang aku lakukan ini, Ra. Karena satu orang yang memberiku dukungan sudah cukup untuk membantuku mengalahkan seribu orang yang meremehkan. Apalagi yang dukung adalah kamu, My BFF... cie... My BFF.”

Aku yang masih sibuk menerjemahkan apa yang kuucap, kudengar, kulihat dan kulakukan menjadi sebuah tulisan. Sedikit dikagetkan oleh Tiara yang sudah berdiri di sebelahku.

“Kayla? Semangat!” ucap Tiara sambil menaruh kopi susu kemasan botol kesukaanku di atas meja.

“Kalau kopinya masih kurang, ambil sendiri di kulkas. Jangan manja!” tambahnya sembari berbalik menuju tempat tidurku untuk merebahkan tubuhnya kembali.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Tapi kenapa saat mendapat dukungan justru aku mulai kebingungan. Kira-kira apalagi yang harus kutuliskan? Masa baru sampai halaman kedelapan di WordPad aku sudah kehabisan kata-kata?

Sebentar, ini adalah cerita bagian awal yang kuanggap hanya sebatas pembukaan. Yang tujuannya diisi dengan sedikit perkenalan dan memberitahu alasan utama mengapa aku menulis cerita ini. Jadi kenapa pusing memikirkan apalagi yang harus ditulis. Karena perkenalan sudah, sekarang langsung pada alasannya saja, agar ceritaku ini cepat dimulai.

***

Related Posts

Posting Komentar